Mudah lupa memang bukan hal menyenangkan. Faktanya, kepikunan atau demensia berpotensi menyerang penduduk dunia. Badan Alzheimer Dunia mencatat, satu penderita demensia muncul setiap empat detik. Mayoritas penderita adalah lansia usia 65 tahun ke atas. Namun, penderita demensia muda pun mulai bermunculan. Yuk, kenali demensia!
MENURUT Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), demensia adalah sindrom klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Gejala tersebut juga bisa menyerang usia muda (young onset dementia) dan usia produktif (working onset dementia). Namun, keduanya punya pemicu alias trigger yang berbeda.
Dokter Koemalawati Widjaja SpS menjelaskan, pada lansia, gejala penurunan memori merupakan hal yang wajar. ’’Fungsi organ tubuh turun, termasuk otak. Namun, pikun juga bisa dipicu penyakit lain,’’ ungkap spesialis saraf di RS Husada Utama itu. Penyakit tersebut, antara lain, hipertensi, kencing manis, serangan stroke berulang, dan kadar kolesterol dalam darah yang tinggi.
Pada kasus normal, kepikunan terjadi karena jalinan saraf penghubung dalam otak mulai renggang. Akibatnya, akses memori ke bagian tertentu terputus. Berdasar penelitian Institut Neuroimunologi Akademi Sains Slovakia, yang umumnya diserang adalah bagian otak yang mengatur kemampuan bahasa, motorik, dan emosi.
Menurut Koemala, ada beberapa gejala demensia pada lansia yang bisa diamati. Misalnya, emosi yang tidak stabil dan tidak mampu mengambil keputusan. Jika menyerang bagian linguistik, penderita demensia biasanya tidak mampu menyebut nama benda. Contohnya, menyebut dasi sebagai benda yang melingkari leher.
Dia juga memaparkan, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia, jumlah penderita kepikunan diperkirakan berlipat ganda. ’’Rata-rata harapan hidup sekarang naik sampai 65 tahun. Kalau pelayanan medis dan sosial untuk lansia nggak baik, penderita pikun pun naik,’’ tegas Koemala.
Sementara itu, pada usia di bawah 65 tahun, kepikunan banyak dipicu pola hidup modern. Serbacepat, serbasibuk, serta pola makan yang tidak sehat dan berimbang dituding sebagai pemicu demensia. ’’Terlebih yang tinggal di kawasan sibuk, seperti kota besar. Mereka rawan mengalami stres,’’ ungkap Achmad Iwan Tantomi, peneliti asal Universitas Islam Malang.
Dalam penelitiannya bersama Abdurrachman Omar B. dan Andri Sagita, dia menyimpulkan, kemacetan dan kesibukan padat bisa membebani kerja otak. Sebagian besar responden penelitiannya mengalami kesulitan fokus dan konsentrasi. Menurut Iwan, hal itu membuat sinyal perintah di otak tidak keruan.
Risiko demensia mulai bisa dicermati memasuki usia 30-an tahun. Berdasar penelitian yang melibatkan 250 responden tersebut, pikun mulai menyerang mereka di kelompok usia 36–45 tahun. Penyebabnya, tingginya kesibukan kerja dan aktivitas harian. Keduanya tidak diimbangi istirahat dan kegiatan refreshing yang cukup.
’’Selain itu, konsumsi junk food, makanan berlemak, dan gula bisa menyebabkan gangguan di otak,’’ ungkap Iwan. Bukan hanya risiko obesitas atau gangguan metabolisme, keduanya mampu meningkatkan protein amyloid beta. Dalam jangka panjang, zat tersebut menumpuk dan mengganggu sel saraf otak. Akibatnya, muncul gejala kebingungan dan mudah lupa.
Agar tidak makin parah, penderita demensia wajib melakukan konsultasi dengan tim dokter. Indikasinya, menurut Koemala, muncul gejala mudah lupa, emosi berubah-ubah, dan ketidakmampuan mengerjakan aktivitas rutin. ’’Bisa ditangani jika masih dalam tahap awal. Pengobatan bertujuan untuk memperingan demensia dan kestabilan kondisi pasien,’’ imbuhnya.
Jika dibiarkan, demensia bisa mengancam kondisi psikologi penderitanya. Tingkat keparahan dilihat dari mental state penderita. Mulai disorientasi tempat, waktu, sampai cacat mental. Walau tidak mematikan atau mengancam nyawa, kepikunan bisa mengurangi kualitas hidup penderitanya. (fam/c6/dos)
Sumber..Jawa Pos